Tuesday 29 September 2015

PERANG PADRI


Perang padri terjadi di minangkabau Sumatra Barat pada tahun 1821-1837 perang ini digerakan oleh para pembaru Islam yang sedang konflik dengan kaum adat perang ini bermula adanya pertentangan antara kaum padri dengan kaum adat sejak akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampong kota tua ini di daratan agama pada tahun 1803 datanglah tiga orang ulama yang baru saja pulang haji yakni haji miskin, haji umanik dan haji piabang, Mereka melanjutkan gerakan ajaran islam seperti yang pernah dilakukan oleh tuanku kota tua, orang belanda menyebutnya dengan padri yang dapat dikaitkan dengan kota padri dari bangsa portugis untuk menunjuk orang – orang islam yang berpakaian putih sementara adat di Sumatra Barat memakai pakaian hitam dalam melaksanakan kemurnian praktek ajaran islam kaum padri menentang taktik kebiasaan kaum adat yakni mabuk, main kartu, dll. Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak tahun 1821 Pemerintah hindia belanda mengangkan jamesdu puy sebagai residen di minang kabau pada tanggal 16 Februari 1821 james du puy mengadakan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian di duduki oleh belanda pada tanggal 18 Februari 1821, belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum adat berhasil menduduki si mawang maka pada tahun 1821 itulah terjadinya padri.
Fase pertama pada tahun 1821-1825 dimulai gerakan kaum padri menyerang pos – pos dan pencegahan terhadap patrol belanda, sepetember 1821 pos-posminawang menjadi sasaran serbuan kaum padri, tuanku man renceh memimpin pasukan disekitar baso menghadapi Belanda yang dipimpin kapten govinet periode tahun 1821 – 1825 serangan – serangan kaum padri memang meluas di seluruh tanah minangkabau menyusul kemudian di bonio kaum padri menghadapi pasukan PH.marinus, pada tahun 1823 pasukan padri berhasil mengalahkan tentara belanda di  papua kemudian kesatuan kaum padri yang terkenal adalah yang berpusat di bonjol, pemimpin mereka adalah peto syarif. Ia sangat gigih memimpin kaum padri untuk melawan kekejaman dan kekerasan belanda di tanah minangkabau oleh katrena itu pada tanggal 26 Januari 1824 terecapai perlindungan damai antara belanda dengan kaum padri diwilayah alahan panjang.
Fase ke dua (1825-1830), peristiwa itu diluar Sumatra barat tahun itu merupakan tahun yang sangat penting sehingga bagi belanda digunakan sebagai bagian strategi dalam menghadapi perlawanan kaum padri si Sumatra Barat, Oleh karena itu Colonel De Stuers yang merupakan penguasa sipil dan militer di Sumatra barat berusaha mengadakan kontrak deengan tokoh – tokoh kaum padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu mengadakan perjanjian damai belanda kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan arab yang bernama Sulaeman Aljufri untuk mendekati dan membujuk pada pemuka kaum padri agar dapat berdamai. Tuanku Imam Bonjol Menolak , kemudian menemui tuanku lintau ternyatamerespon ajakan damai itu. Hal ini juga didukung nan renceh. Itulah sebab pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani perjanjian apdang, si perjanjian apdang itu antara lain.
1.      Belanda mengaku kekuasaan pemimpin padri di Batu Sangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agama bukit tinggi dan menjamin pelaksanaan system agama di daerahnya
2.      Keua belah pihak tidak akan saling menyerang
3.      Secara bertahap Belanda akan melarang praktek adu ayam
4.      Kedu belah pihak melindungi para pedagang.
Fase Ketiga (1830-1837-1838), Peristiwa tahun 1825 – 1830 dijawa peristiwa itu adalah perang diponegoro setelah perang di ponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan belanda di konsentrasikan ke Sumatra Barat, untuk menghadapi kaum padri. Pada pertempuran fase ketiga ini kaum padri mulai mendapatkan simpati dari kaum adat. Orang – Orang padri yang mendapatkan dukungan kaum adat itu bergerak ke pos – pos tentara Belanda, tindakan kaum padri itu dijadikan Belanda di bawah Gillavry untuk menyerang kota Tua di ampek angket serta membangun bentang pertahanan dari ampang gandang sampai ke biaro. Tahun 1831 Gillavary di gantikan oleh Jacob elout. Elout ini telah mendapatkan pesan dari jawa pada tahun 1832 maka Belanda semakin meningkatkan ofensif terhadap kekuatan kaum padri di berbagai daerah. Pasukan legium sentot Ali Basah Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata tahun 1833 kekuatan Belanda sudah begitu besar dengan menyerang kaum padri, Banuhampu, Tamang, Guguk Sigandang, Jantung Alam, Sungai Puar, Candung dan beberapa Nagari di Agama. Pada waktu penyerbuan Kamang, pasukan Belanda dapat mendapatkan perlawanan sengit bahkan 100 orang pasukan Belanda termasuk Perwira terbunuh urusan Pemerintah tradisional di Minangkabau. Plakat panjang adalah pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak aka nada lagi peperangan antara Belanda. Namun dibawah komando Imam Bonjol mereka terus berjuang untuk mempertahankan setiap jengkal tanah minang kabau, Oktober 1837 secara ketat Belanda mengepung dan menyerang benteng bonjol pada tanggal 55 Oktober 1837 tuanku Imam Bonjol di tangkap. Pasukan yang dapat meloloskan diri dari Belanda melanjutkan perang grilya di hutan Sumatra Barat, Imam Bonjol kemudian dibuang di Cianjur, dan Meninggal diambon pada Tanggal 6 November 1864.


No comments:

Post a Comment