Thursday, 1 October 2015

MENGANALISIS CERPEN - PERIHAL ORANG MISKIN YANG BAHAGIA


Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT. Berkat limpahan dan karunia-Nya. Kami dapat menyelesaikan tugas bahasa indonesia dengan judul menganalisis cerpen paing. Dalam penyusunan cerpen paing kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kami. Namun sebagai manusia biasa kami selaku penulis dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa.
Kami mengetahui tanpa arahan dari guru pembimbing kami, yakni bapak H. Asmadi Spd. Serta masukan-masukan dari semua teman-teman kami yang telah membantu, mungkin kami tidak dapat menyelesaikan tugas kami. Untuk itu kami hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas cerpen paing.
Demikian semoga penganalisisan cerpen kami ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca umumnya











NASKAH DIALOG CERPEN PERIHAL ORANG MISKIN YANG BAHAGIA


Pemain :
1. Aku (orang miskin 2)                                   5. Anak –anak
2. Dia (orang miskin 1)                                   6. Suster
3. Istri                                                              7. Kasir
4. Dukun                                                          8. Polisi



Suatu hari hiduplah sebuah keluarga miskin yang baru saja memperoleh kartu tanda miskin dari kelurahan.
Orang miskin 1: aku sudah resmi jadi orang miskin. (sambil memperlihatkan kartu tanda miskin kepada istrinya)
istri: iya pak alhamdulillah lega rasanya setelah bertahun-tahun kita hidup miskin akhirnya mendapat pengakuan juga.
Orang miskin 1: lebih saya simpan kartu ini di dompet, agar bila nanti kita ingin belanja kita tinggal menggesek kartu ini ( sambil menyimpan  di dompetnya yang lecek dan kosong )
istri: apa boleh kita belanja menggunakan kartu itu ?
orang miskin 1: kartu inikan dari negara bu, pasti boleh digunakan untuk apa saja
istri: oooh.......... begitu ya pak? (sambil mengangguk – ngangguk dengan muka polosnya)
orang miskin 1: iya bu.
Orang miskin itu sering duduk melamun sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar.
orang miskin 2: anak- anak mereka kelak pasti akan menjadi orang miskin yang baik dan sukses (sambil melihat anak-anak yang sedang bermain)
Suatu sore, orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya sambil berbincang- bincang.
orang miskin 1: istriku, tolong ceritakan kepadaku kisah yang paling lucu dalam hidup kita selama kita hidup bersama? .
istri: suamiku, cerita yang paling lucu dalam hidup kita ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan lalu menyembelihmu! (mereka pun tertawa)
Orang miskin itu dikenal ulet, ia mau bekerja serabutan apa saja namun ia tetap saja miskin, suatu hari ia mendatangi seorang dukun berharap bisa mengubah garis buruk tangannya.
orang miskin 1: permisi mbah?
dukun: ada apa akamu datang kemari?
orang miskin 1: begini mbah saya ingin mengubah garis tangan saya yang dari keturunan miskin
dukun : baiklah saya ramal dulu (sambil komat-kamit baca mantra).
dukun: oooo........ ternyata kamu memang punya bakat jadi orang miskin.
orang miskin 1:  apakah tidak bisa di rubah mbah?
dukun: tidak!! Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu (dengan nada yang keras )
akhirnya orang miskin itu pergi meninggalkan rumah dukun itu dengan rasa kecewa dan sejak itu ia berusaha untuk konsisten miskin.
Orang miskin itu pernah berniat untuk memelihara tuyul atau babai ngepet ia juga pernah hendak jadi pelawak agar sukses dan kaya. Namun ia teringat sebuah cerita tentang orang miskin yang jadi pelawak namun tidak bisa membuat orang tertawa. Baru ketika ia mati semua orang tertawa oleh karena itu ia tak ingin jadi pelawak.
Yang menyenangkan orang miskin itu suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses.
orang miskin 1: aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi dia merintis karir jadi pengemis untuk membesarkan 4 orang anaknya. Sekarang 1 anaknya di ITB, 1 di UI, 1 di UGM dan satunya lagi di UNDIP.
orang miskin 2: wahh, hebat banget!!! Mereka semua kuliah?
orang miskin 1: tidak. Mereka semua jadi pengemis di kampus itu.
Orang miskin itu sendiri punya anak 3 yan masih kecil-kecil ia menginginkan anak-anaknya menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan UUD. Setidaknya mereka bisa mengamalkan kemiskinanya secara adil dan beradap berdasarkan pancasila dan UUD 45. Itu sebabnya ia tak ingin anak-anaknya jadi pengemis.
Suatu malam, ketika anak-anaknya memberinya recehan dari hasil mengemis, ia sering mengajakku (orang miskin 2) nongkrong di warung pinggri kali hanya sekedar untuk minum kopi.
orang miskin 1:  orang miskin perlu juga sesekali nyantai kan? Lagi pula, begitulah nikmatnya menjadi orang miskin. Punya banyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali cobalah jadi orang miskin (sambil menepuk- nepuk pundakku)
orang miskin 2: kenapa aku harus mencoba jadi orang miskin.
orang miskin 1: karena kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan penderitaan yang bisa di gunakan untuk membiayai sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah jadi kamu tidak kaget kalau susah. (sambil menyeruput kopi)
Ada saat-saat dimana wajah orang miskin itu di liputi kesedihan, ia sedih bukan kerena ia miskin tapi karena banyak sekali orang yang malu mengakui miskin, banyak sekali yang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.
Suatu hari di kampung terjadi pencurian.
polisi: hai berhenti! Atau ku tembak sekarang ! (sambil lari-lari mengejar pencuri )
Polisi kehilangan jejak pencuri kemudian ia bertanya pada warga.
polis: permisi, apakah anda melihat orang pencuri yang lari-lari kemari?
warga 1: iya pak, saya tadi melihatnya seseorang yang lari-lari menuju kerumah itu. (sambil menunjuk rumah orang miskin )
polisi: baiklah, terimakasih.
polisi pun menuju rumah orang miskin.
polisi: permisi (sambil mengetuk pintu )
istri : (istri orang miskin membuka pintu ) ada apa pak ?
polisi: apakah di rumah ini ada seorang laki-laki ?
istri: iya ada pak.
polisi: mana orangnya ?(polisi menerobos masuk tanpa izin
polisi mencari seorang laki-laki yang ada di dalam rumah itu kemudian, polisi melihat seorang laki-laki sedang duduk di belakang rumahnya.
polisi: angkat tanganmu ! (sambil menyodorkan pistol ke wajah orang miskin )
orang miskin 1: ada apa ini pak, saya salah apa?
polisi : mari bapak ikut saya, saya jelaskan di kantor polisi saja.
Polisi pun membawa orang miskin kekantor polisi dan akhirnya orang miskin itu di penjara selama 2 hari. Kemudian ia di bebaskan karena ternyata bukan orang miskin itu pelakunya.
Suatu ketika orang miskin itu sakit dan dengan entengnya ia pergi kerumah sakit, ia menyerahkan kartu tanda miskin pada suster penjaga, kemudian orang miskin itu masuk kedalam ruangan.
suster: silakan duduk pak.
orang miskin 1: iya terima kasih.
suster: apa keluhan Bapak?
orang miskin 1: saya sering mengalami pusing dan badan saya panas sus.
suster: kalau begitu bapak harus di rawat inap, mari saya antar bapak ke ruang inap. Sambil menunggu dokter datang untuk memeriksa bapak, lebih baik bapak istirahat dulu di bangsal sebelah sana( sambil menuntun bangsal kosong)
orang miskin 1: terima kasih suster
Dua hari kemudian suster kembali mendatangi orang miskin itu.
suster: bapak sudah sembuh jadi, bapak sudah boleh pulang dan ini obat untuk bapak minum di rumah.
orang miskin 1: terima kasih sus.
akhirnya orang miskin itu sembuh tanpa di periksa oleh dokter dan pulang dengan hati riang gembira.
Suatu sore orang miskin itu bersama keluarganya pergi ke mal.
istri: apa benar pak kita belanja di sini?
orang miskin 1: benar bu.
istri:memangnya bapak punya uang?
orang miskin 1: tenang, jangan khawatir. Lebih baik ibu ajak anak-anak  berbelanja apa yang mereka inginkan.
istri: baiklah.
keluarga orang miskin itu memborong belanjaanya sebanyak mungkin.
istri: pak kita sudah selesai berbelanja mari kita ke kasir.
orang miskin 1: mari bu.
keluarga orang miskin itu menuju ke kasir.
kasir: wah.... belanjaan keluarga bapak banyak sekali.
orang miskin 1:  iya mba.
kasir: baiklah aku hitung dulu.
setelah semua belanjaan di hitung .
kasir: jadi totalnya Rp. 1.270.000 pak
istri: haaaa.... banyak sekali (dengan wajah kaget)
orang miskin 1: tengan saja bu. Ini mba saya bayar pakai ini! ( sambil menyodorkan kartu tanda miskin)
kasir: maaf pak tidak bisa.
orang miskin 1: tapi kartu ini dari negara mba.
kasir: tapi maaf pak kami tidak menerima kartu ini!    Satpam usir mereka! (dengan nada keras)
keluarga orang miskin pun di seretnya keluar dari mal.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan, tanpa firasat apa-apa orang miskin itu meninggal.
anak-anak: apakah ayah kita mati, kenapa ayah diam saja? ( sambil muka bengong)
istri: ia nak bapakmu meninggal (dengan muka sedih dan menangis)
anak-anak: ibu kenapa sedih dan menangis. Ibu menangis karena ayah meninggal ya bu?
istri: bukan nak ibu sedih bukan kerena ayah mu meninggal tetapi karena ibu bingun uang dari mana untuk membeli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utang tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pamakaman.
para pelayat : bagaimana mau di kubur tidak?
prang miskin 1: ternyata aku hanya bikin susah dan merepotkan, aku ingin hidup kembali.
Sejak peristiwa itu ku perhatikan ia jadi sering murung mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya
orang-ornag: hahaha kasian sekali orang itu(sambil menunjuk orang miskin.
ornag miski 1: nasib kadang memang kurang ajar.
Suatu hari orang miskin itu berubah menjadi anjing, itulah hari paling membahagiakan selama hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya .
Selesai



















MENGANALISIS TEKS CERITA CERPEN
NO
ASPEK CERPEN
DESKRIPSI CERPEN
BUKTI PENDUKUNG
1
JUDUL
·         Tuliskan Judul
·         Apakah tema cerpen tersebut?
·         Perihal orang miskin yang bahagia
·         Seseorang yang miskin namun tetap merasa bahagia
2
ABSTRAK
·         Apakah ada abstrak?
·         Tuliskan tentang tahap abstrak!
·         Apakan abstrak sudah Menggambarkan cerita keseluruhan?
·         Ada
·         1.“aku sudah resmi menjadi orang miskin”....... (hal 41)
 2. “lega rasanya karena setelah           bertahun-tahun”..........(hal 41)
3. “nanti bila aku ingin berbelanja menggeseknya”......(hal 42)
·         Menggambarkan keseluruhan  cerita
1. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dompetnya yang lecek dan kosong (hal 41)

3
ORIENTASI
·         Tuliskan rentang tahap orientasi!
·         Apakah ada perkenalan tentang setting /latar (tempat, waktu dan suasana)
·         Siapa saja tokoh dan bagaimana penokohan?
·         Apa yang di alami pelaku, dimana peristiwa itu  terjadi ?
·         1.Diam-Diam Aku Suka Mengintip Rumah Miskin Itu .........(Hal 42)
2.Kamu Bakalan Punya Cadangan Kesedihan Yang Melimpah ....(Hal 44)
·         *Latar Tempat
# rumah orang miskin
bukti : diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu(hal 42)
#warung
bukti: pernha suatu malam kami nongkrong di warung pinggir kali
*latar waktu
#sore hari
bukti:suatu sore aku melihat orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya (hal 42)
#malam hari
bukti: pernah suatu malam kami menongkrong di warung pinggir kali

*latar suasana
#bahagia
bukti:
1.sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar(hal 42)
2. Merekapun tertawa (hal 42)
#sedih
bukti: ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita .............(hal 42)
·         Tokoh & penokohan
* Dia (orang miskin 1)
a. Ulet
bukti : orang miskin itu di kenal ulet(hal 42)
b. Pekerja keras
bukti: ia mau bekerja serabutan apa saja (hal 42)
c.patuh
bukti: aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik hati dan benar dan sesuai ketentuan UU (hal 43)
*aku (orang miskin 2)
a.iri
bukti: aku selalu iri menyaksikan kebahagian mereka(hal 42)
* istri : tabah
bukti: beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah
*anak: jujur
bukti: ketika anak-anaknya memberinya recehan hasil dari mengemas (hal 45)
·         1. Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu ia sering melamun  sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar (hal 42)
2. Ia pernah mendatangi dukun berharap bisa mengubah garis buruk tangannya (hal 42)
4
KOMPLIKASI
·         Tuliskan rentang tahap komplikasi


·         Apakah muncul konflik, para pelaku bereaksi terhadap konflik, kemudian konflik meningkat?
·         Konflik internal (batin) atau konflik eksternal (luar)
·         1. Wajar orang miskin itu mengingatku pada wajah..(hal 44)



·         2. Tidak ada yang tahu, diam- diam perempuan itu.........(hal 46)
·         1. Tak gampang memang jadi orang miskin ...........(hal 45)
2.hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman saja yang tak mau berponsel (hal 45)
3.orang yang sudah resmi miskin seperti aku boleh bergaya.....(hal 45)
·         #. Konflik internal (batin)
bukti : sejak itu, bila aku berkaca aku harap melihatnya tengah berusaha menyembunyikan isak tangisnya (hal 44)
#. Konflik eksternal (luar)
bukti :
 1. pencuri itu memergoki & membentaknya..........(hal  44)
2. Orang miskin itu pernah di tangkap polisi ......(hal 45)
3. Ia di interogasi & di gebugi..... (hal 45)
5
KLIMAKS
·         Tuliskan rentang tahap klimaks!
·         Apakah konflik mencapai puncaknya?
·         1. Suatu sore yang cerah ....... (hal 46)
2. Seharian permpuan itu  pontang- panting cari utangan ...... (hal 47)
·         Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati .... (hal 47)
6
RESOLUSI
·         Tuliskan rentang tahap resolusi
·         Apakah konflik terpecahkan dan bagaimana penyelesaiannya?
·         1. Karena merasa hanya bikin susah.......... (hal 47)
2.nasib buruk kadang memang kurang ajar .... (hal 47)
 1 Nasib buruk  kadang memang susah & merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan hidup kembali ..............(hal 47)
2. sejak peristiwa itu, ku perhatikan ia jadi sering murung , mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok- oloknya ....... (hal 47)
7
KODA
·         Apakah ada koda?
·         Apakah ada pesan-pesan pengarang
·         Apakah pesan-pesan itu di sampaikansecara tersurat atau tersirat
·         Apakah pesan –pesan itu di sampaikan secara wajar, tidak menggurui?
·         Tidak ada koda
8
Menggunakan kata-kata yang menunjukan waktu lampau
·         Apakah tampak menggunakan kata-katayang menunjukan waktu lampau?
·         Iya
bukti :
1. Pernah suatu malam kami menongkrong.... (hal 47)
2. Orang miskin itu pernah di tangkap polisi (hal 45)
3. Suatu sore yang cerah (hal 46)
4. Sejak peristiwa itu  kuperhatikan .... (hal 47)
9
Penyebutan Tokoh
·         Apakah tampak penggunaan Kata-kata yang menunjukan para pelaku (Utama dan tambahan)
·         Pelaku utama
1. Dia (orang miskin 1)
bukti: “aku sudah resmi jadi orang miskin”   (hal 41)
2. Aku (orang  miskin 2)
bukti:  “entah kenapa saat itu  mendadak aku merasa kikuk dengan penampilan yang perlente (hal 44)
·         Pelaku tambahan 
1. Anak-anak
bukti a. Sementara  anak-anaknya yang dekil  bermain riang menahan lapar (hal 42)
2. Istri

bukti:
 a. Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah (hal 44)
b.  “ialah ketika aku & anak-anak begitu kelaparan , lalu menyembelihmu” jawab istrinya (hal 42)
c. Sementara istrinya terus menangis (hal 47)
10
Memuat kata-kata untuk mendeskripsikan pelaku (penampilan fisik atau kepribadiannya)
·         Apakah tampak penggunaan kata-kata yang menggambarkan penampilan fisik atau watak pelaku
·         Iya
bukti:
1. Anaknya yang dekil (hal 42)
2.aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan  mereka (hal 42)
3. Orang miskin itu di kenal ulet (hal 42)
4. Ada saat-saat di mana  kuperhatikan  wajah  orang miskin itu diliputi kesedihan  (hal 43)
5. Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah (hal 46)
11
Kata-kata yang menunjukan latar (waktu, tempat, dan suasana)
·         Apakah tampak penggunaan kata-kata yang menggambarkan latar waktu, tempat dan suasana?
·         Latar waktu
1.  Sore hari
bukti :
a. Sore hari itu aku melihat....... (hal 42)
b. Banyak orang yang berkerumunan sore itu (hal 45)
c. Suatu sore  yang cerah (hal 46)
2. Malam hari
bukti:
a. Pernah suatu malam kami .... (hal 43)
b. Suatu malam ada seorang pencuri
c. Pernah, suatu malam aku melihat bayangan
·         Lata tempat
1. Diam- diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu (hal 42)
2. Kami menongkrong di warung pinggir kali  (hal 43)

3. Di bawahnya aku ke warung  yang biasa di hutanginya (hal 46)
4. Dengan enteng orang miskin itu melengggang ke ruamh sakit
5. Anak istrinya pergi berbelanja ke  (hal 46)
·         Latar suasana
1. Bahagia
bukti:
a. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu (hal 41)
b.anak-ananknya bermain riang menahan lapar  (hal 42)
c. Anak-anaknya melihat begitu gembira (hal 46)
2. Sedih
bukti:
a. Ia mendadak terlihat sedih...... (hal 42)
b. Kadang-kadang
12
Alur
·         Alur apa yang terdapat dalam cerpen
·         Alur mundur
bukti :
a.pernah suatu malam kami nongkrong di warung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan di ri menikmati kopi.
b. Orang miskin itu pernah di tangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu di curigai. Ia di inteeogasi dan di gebugi.
13
Gaya bahasa
·         Gaya bahasa apa yang di gunakan
·         Majas litotes
bukti
1. Aku malu karena aku tak punya apapun yang bisa kamu curi (hal 44)
2. Cuku bermodal tampang berbeda & mau di hina-hina (hal 46)
·         Majas asosiasi
bukti siang malam ia membanting tulang (hal 42)

·         Majas hiperbola
bukti: kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah (hal 44)
·         Majas simbolik
bukti: suatu hari, orang miskin itu kembali menjadi anjing (hal 47)
14
Memuat kata kerja yang menunjukan peristiwa yan dialami pelaku
·         Apakah tampak penggunaan kata-kata yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang dialami pelaku?
·         Iya
bukti:
a. Aku melihat orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya (hal 44)
b. Ia pernah mendatangi dukun (hal 42)
c. Pernah suatu malam kami nongkrong di warung pinggir kali (hal 43)
d. Mendengar itu, mata istrinya berkaca- kaca (hal 46)
e. Sambil bersiul ia segera pergi (hal 46)
f. Sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar (hal 41)
15
Sudut pandang
·         Apakah tampak penggunaan kata-kata yang menunjukkan sudut pandang pengarang?
·         Menggunaka orang pertama menceritaka orang ketiga
bukti:
- Diam- diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu, ia sering ...... (hal 42)
- aku selalu iri melihat kebahagian mereka  (hal 42)
16
Keterpakaian cerpen dengan kehidupan sebenarnya saat ini
·         Apakah cerita dapat mewakili kehidupan sebenarnya saat ini?
·         Aku sedih karena banyak sekali orang yang malu mengakui miskin, banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin (hal 44)
·         Mereka tetap miskin, malah banyak gunanya yang berdesak-desakan &saling injak setiap ada pembagian beras &sumbangan. Dan bisa di tipu setiap menjelang pemilu (hal 47)

Perihal Orang Miskin yang Bahagia
Cerpen Agus Noor
1.
“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan kosong.
“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me­nahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan men­jadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me­nik­mati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan ki­sah paling lucu dalam hidup kita….”
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.
3.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. “Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada­ku. “Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber­tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos­tumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap meng­hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang bukan hi­buran yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.
6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis­kin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untu­k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da­tang ber­tandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­tika lapar?” Dan orang miskin itu akan menja­wabnya sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan­casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin per­lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan untuk membia­yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe­lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta­ngisnya.
11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. “Jangan sa­lah paham,” katanya. “Aku sedih bukan ka­rena aku miskin. Aku sedih karena banyak se­kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki­kuk dengan penampilanku yang perlente. Se­jak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.
13.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, “Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
14.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Di­tu­duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. De­ngan harapan ia kembali dipukuli.
15.
Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu te­was dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Ma­kanya ia memilih membakar diri.”
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.
16.
Sepertinya ini memang lagi musim orang mis­kin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
17.
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman sa­ja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap sa­ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru­mahku sambil menenteng telepon genggam.
“Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
18.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na­ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem­pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
19.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis­kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon­sel, sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me­ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” ka­tanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya­man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam­bal terasi dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementa­ra aku hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
20.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata pe­rawat, lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
21.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
22.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang mis­kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa­kinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bi­sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me­nunjuk orang-orang yang sedang antre memba­yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis­kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan­da Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
23.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
24.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.
25.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati sa­ja pakai nipu.”
“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
“Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
“Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Kare­na neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
26.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya. (*)


Jakarta-Singapura, 2009


No comments:

Post a Comment