Thursday, 1 October 2015

Menganalisis Teks Cerpen - Banun

TUGAS BAHASA INDONESIA
“Menganalisis Teks Cerpen”
Banuri

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pelajaran Bahasa Indoensia
Pembimbing : Bpk.H.Asmadi, S.Pd
Semester 1 Tahun Ajaran 2015 – 2016
 










Disusun Oleh : 1. Anti Andriyani
2. Nur Aini
3. Riyan Widodo
4. Tri Nenti
5. Venti Susanti
Kelas : XI MIIA 2

SMA NEGERI 1 SURANENGGALA
2015


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan tugas menganalisis Cerpen yang dibimbing oleh Bpk.H.Asmadi,S.Pd. Selaku Guru Bahasa Indonesia.yang dibimbing oleh Bpk.HAsmadi,S.Pd.Selaku guru bahasa Indonesia.
Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bpk.H.Asmadi S,Pd. Yang telah membantu kami untuk memahami tugas “Menganalisis Teks Cerpen” yang berjudul “Banun”
Terimakasih juga kepada kelompok 4 yang telah bekerja sama sehingga dapat menyelesaikan tugas menganalisis teks cepen. Dan kami mohon maaf apabila ada jawban yang kata – katanya sulit untuk dipahami.


MENGANALISIS TEKS CERPEN
NO
ASPEK
DESKRIPSI CERPEN
BUKTI PENDUKUNG
1.
Judul
·           Tuliskan judul
·           Apakah temah cerpen tersebut?
·                Banun
·                Seorang yang tidak memperdulikan omongan orang lain tentang dirinya demi masa depan dia dan keluarganya
2.
Abstrak
·            Apakah ada abstrak?

·            Tuliskan rentang tahap abstrak!








·            Apakah abstrak sudah menggambarkan cerita keseluruhan?
·                Iya

·                Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir dikampung ini, tidak aka nada yang menyanggah bahwa perempuan tingkah yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya……………
Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran banun

·                Belum, hanya sebagian ayng baru menggambarkan cerita keseluruhan
3.
Orientasi
·         Tuliskan tentang tahap orientasi!









·         Apakah ada perkenalan tentang setting/latar(tempat,waktu dan suasana



·         Siapa saja tokoh dan bagaimana penokohan?



















·         Apa yang dialami pelaku, dimana pelaku dimana peristiwa itu terjadi?
·                Ada banyak banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu……..
Tapi, hanya ada satu Banun kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubka, tanpa mengurangi rasa hormat apda Banun. Banun yang lain sepatutnyalah ia menjadi lakokn cerita ini.
·                Ada
-          Latar Tempat  : dihutan, sawah, perkarangan dan Rumah Banun perkampungan Lereng Bukit
-          Latar suasana : Menegangkan
-          Latar waktu : Selasa dan Sabtu, Petagn, Jum’at
·                Banun : Tangguh, Keras kepala, hemat dan pekerja keras “ tak usaha hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yagn mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengeyam bangku sekolah dan seumur – umur akan jadi orang tani.” Bentak banun ‘sebagai paham bagaimana tabiat petani sejati.
-          Rimah : Pembantah”hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawah mati, mak?”Tanya rimah suatu ketika.
-          Nami : Pembantah
“Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri”, Gerutu Nami
-          Pajar : Pemalas, Pendendam dan Pemarah.
“Untuk sekebat sayat kangkungpun, zubanidah (Istri Polar) Belanja ke pasar
·                Banun Dukun Beranak yang kehendalanya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa - apa sudah angkat tangan. Lalu menyerahkan pasien bunting bersalin dirumah sakit kabupaten.
4.
Komplikasi
·         Tuliskan tentang ntahap komplikasi!


·         Apakah muncul konflik, para pelaku bereaksi terhadap konflik, kemudian konflik meningkat?









·         Konflik internal (batin) atau konflik eksternal (luar)
·                Disepanjang usianya, banun kikir tidak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya. ”Manfaatkan  saya, polar”.
·                Banun memiliki pedoman hidup bahwa kata “tani” merupakan penyempitan dari “tahani” yang berarti menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang diperoleh dari bercocok tanam.
·                Polar yang ntidak mau bekerja keras hingga dia harus bangkrut
·                Polar mengantarkan anaknya Rustam untukmeminang rimah anak Banun namun ditolak oleh Banun sendiri.
·                Polar melamar Banun tapi ditolak mentah – mentah
·                Konflik Internal (Batin)
-          Palar yang ntidak mau bekerja keras hingga dia harus bangkrut
-          Palar melamar Banul tapi ditolak mentah – mentah.
-          Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan palar, palar hendak membuat Banun merasa malu, bila perlu sampai ajal datang menjemput.
-          Akhirnya palar menggunakan berbagai siasat agar banun termaklumat sebagai wanita paling kikir dan membuatny amalu seumur hidup.
-          Rupanya penolakan banun menyinggung perasaan palar, palar hendak membuat Banun merasa malu, bila perlu sampai ajal datang menjemput
-          Anak – anak banun mengesali sikap ibunya pada masa lalu yang membuat palar sakit hati hingga membuatnya dendam dan membuat Banun dijuluki Banun Kikir
5.
Klimaks
·         Tuliskan rentang tahap klimaks!
·         Apakah konflik pencapaian puncaknya?
·                Iya
·                Apalah GUna Insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani?
·                Pesan ini disampaikan secara tersurat
-          Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir dikampun gitu
-          Iya
6.
Resolusi
·         Tuliskan rentang tahap resolusi!
·         Apakah konflik terpecahkan dan bagaimana penyelesaiannya?
·                Anak – anak banun menyesali sikap ibunya pada masa lalu yang membuat banun dijuluki banun kikir
·                Tiga bulan setelah suami banun meninggal
7.
Koda
·         Apakaha da kodaapakah ada koda?



·         Apakah ada pesan – pesan pengarang

·         Apakah pesan – pesan itu disampaikan secara tersurat atau tersirat

·         Apakah pesan – pesan itu disampaikan secara wajar, tidak menggurui
·                Sesungguhnya banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya banun kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hamper berkepala tujuh
·                Disepanjang usianya, banunkikir tak pernah memberi minyak tanah untuk mengasapi dapur kerugiannya
·                Saban perang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun – daun kelapa kering itu dipukulnya dan kebun yang sejak lama telah digarapnya
8.
Menggunakan kata yang menunjukkan waktu lampau
·         Apakah tampak menggunakan kata – kata yang menunjukkan waktu lampau?
·                Campuran karena menceritakan asal – muasal banun dijuluki banun kikir.
9.
Menyebutkan tokoh
·         Apakah tampak penggunaan kata – kata yang menggambarkan penampilan fisik atau watak pelaku
·                Majas hiperbola : : kUping anak gadis banun itu panas karena gunjingan perihal banun kikir tanda kutiada kunjung reda
·                Majas metafora : palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu
·                Majas simile : perempuan lingkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa
·                Majas retorik : apalah guna insinyur pertanian bisa tidak mengamalkan laku orang lain
10.
Memuat kata – kata untuk mendeskripsikan pelaku (penampilan fisik atau kepribadiannya)
·         Apakah tampak penggunaan kata yang menggambarkan penampilan fisik atau waktak pelaku
·                Sifat kikirnya dari tahun ketahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh kedengkian seseorang menambahkan kata – kata kikir dibelakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai banun kikir
11.
Alur
·         Alur apa yang teradpat dalam cerpen?
·                Sudut pandang orang ketiga
-          Semula ia hanya dipanggil banun
-          Hingga ia ternobat sebagai banun kikir
12.
Gaya Bahasa
·         Gaya bahasa apa saja yang digunakan
·                Iya
-          Hingga riwayat ini disiarkan belum ada yang sanggup menumpangkan.
13.
Gaya Bahasa
·         Gaya bahasa apa saja yang digunakan

14.
Memuat kata kerja yang menunjukkan peristiwa yang dialami pelaku
·         Apakah tampak penggunaan kata – kata yang menggambarkan peristiwa – peristiwa yang dialami pelaku?


15.
Sudut pandang
·         Apakah tampak penggunaan kata – kata yang menunjukkan sudut pandang pengarang
-           
16.
Keterpakaian cerpen dengan kehidupan sebenarnya saat ini
·         Apakah cerita dapat mewakili kehidupan sebenarnya saat ini?
-           



Mengkonversi Teks Cerpen Menjadi Teks Drama

Perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa nserabut kelapa dipanggil banun, lantaran sifat kikirnya dan tahun ketahun mengakar, seorang menambahkan kata “kikir” hingga ia bertobat sebagai banun kikir.
Rimah             : “Hasil sawah yang tak seberapa itu akan dibawa mati mak?”
Nami               :”Mak tak hanya kikir kepada orang lain, tapi jangan kikir kepada perut
sendiri”. (gerutu nami)
Banun              :”Tak usah hiraukan kata – kata orang ! kalau benar apa yang mereka
katakana  kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur – umur akan menjadi orang tani!”

Sebenarnya banun tidak lupa paada orang yang pertama kali menjuluki Banun kikir hingga nama itu melekat sampai sekarang, orang itu tidak laina dalah palar, laki – laki pewaris tunggal ibu. Bapaknya yang tak sanggup menjalankan perilaku orang tani.
Palar                :”Banun, bagaimana kalau kita jodohkan saja anak kita anakku Rustam dan
anakmu Rimah?
Banun              :”Rima telah memiliki calon suami, pinanganmu terlambat
Palar                :”anakku Rustam akan menjadi satu – satunya insinyur pertanian bertani masa
kini, hingga orang – orang tidak terpuruk lagi dalam kesusahan, anak dan keluargamu akan beruntung jika menerima Ruslam.

Hari – hari berikutnya
Rimah              :”kalau mak menerima pinangan Rustani, tentu julukan buruk yang melekat
pada mak lak adalah, kelapa mak waktu itu mengatakan bahwa aku sudah ada calon suami, padahal belum , bukan?” (sesal Rimah)
Banun              :”Tak usah ungkit – ungkit lagi cerita lama, mungkin rustam bukan jodohmu”.
Rumah             :”tapi seandainya kami brejodoh mak tak akan dinamai banun kikir.


BANUN

Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini belum terungkap rahasianya.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
***
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.
”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.
”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak kedua Banun.
”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani,” bentak Banun.
”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.
”Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
”Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan sorot mata sinis.
”Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.
”Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal belum, bukan?”
”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.
”Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.



No comments:

Post a Comment