Perang
padri terjadi di minangkabau Sumatra Barat pada tahun 1821-1837 perang ini
digerakan oleh para pembaru Islam yang sedang konflik dengan kaum adat perang
ini bermula adanya pertentangan antara kaum padri dengan kaum adat sejak akhir
abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampong kota tua ini di daratan
agama pada tahun 1803 datanglah tiga orang ulama yang baru saja pulang haji
yakni haji miskin, haji umanik dan haji piabang, Mereka melanjutkan gerakan
ajaran islam seperti yang pernah dilakukan oleh tuanku kota tua, orang belanda
menyebutnya dengan padri yang dapat dikaitkan dengan kota padri dari bangsa
portugis untuk menunjuk orang – orang islam yang berpakaian putih sementara
adat di Sumatra Barat memakai pakaian hitam dalam melaksanakan kemurnian
praktek ajaran islam kaum padri menentang taktik kebiasaan kaum adat yakni
mabuk, main kartu, dll. Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak tahun
1821 Pemerintah hindia belanda mengangkan jamesdu puy sebagai residen di minang
kabau pada tanggal 16 Februari 1821 james du puy mengadakan perjanjian ini maka
beberapa daerah kemudian di duduki oleh belanda pada tanggal 18 Februari 1821,
belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum adat berhasil menduduki si mawang
maka pada tahun 1821 itulah terjadinya padri.
Fase
pertama pada tahun 1821-1825 dimulai gerakan kaum padri menyerang pos – pos dan
pencegahan terhadap patrol belanda, sepetember 1821 pos-posminawang menjadi
sasaran serbuan kaum padri, tuanku man renceh memimpin pasukan disekitar baso
menghadapi Belanda yang dipimpin kapten govinet periode tahun 1821 – 1825 serangan
– serangan kaum padri memang meluas di seluruh tanah minangkabau menyusul
kemudian di bonio kaum padri menghadapi pasukan PH.marinus, pada tahun 1823
pasukan padri berhasil mengalahkan tentara belanda di papua kemudian kesatuan kaum padri yang
terkenal adalah yang berpusat di bonjol, pemimpin mereka adalah peto syarif. Ia
sangat gigih memimpin kaum padri untuk melawan kekejaman dan kekerasan belanda
di tanah minangkabau oleh katrena itu pada tanggal 26 Januari 1824 terecapai
perlindungan damai antara belanda dengan kaum padri diwilayah alahan panjang.
Fase
ke dua (1825-1830), peristiwa itu diluar Sumatra barat tahun itu merupakan
tahun yang sangat penting sehingga bagi belanda digunakan sebagai bagian
strategi dalam menghadapi perlawanan kaum padri si Sumatra Barat, Oleh karena
itu Colonel De Stuers yang merupakan penguasa sipil dan militer di Sumatra
barat berusaha mengadakan kontrak deengan tokoh – tokoh kaum padri untuk
menghentikan perang dan sebaliknya perlu mengadakan perjanjian damai belanda
kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan arab yang bernama
Sulaeman Aljufri untuk mendekati dan membujuk pada pemuka kaum padri agar dapat
berdamai. Tuanku Imam Bonjol Menolak , kemudian menemui tuanku lintau
ternyatamerespon ajakan damai itu. Hal ini juga didukung nan renceh. Itulah
sebab pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani perjanjian apdang, si
perjanjian apdang itu antara lain.
1. Belanda
mengaku kekuasaan pemimpin padri di Batu Sangkar, Saruaso, Padang Guguk
Sigandang, Agama bukit tinggi dan menjamin pelaksanaan system agama di
daerahnya
2. Keua belah
pihak tidak akan saling menyerang
3. Secara bertahap
Belanda akan melarang praktek adu ayam
4. Kedu belah
pihak melindungi para pedagang.
Fase Ketiga (1830-1837-1838), Peristiwa tahun 1825 –
1830 dijawa peristiwa itu adalah perang diponegoro setelah perang di ponegoro
berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan belanda di konsentrasikan ke Sumatra
Barat, untuk menghadapi kaum padri. Pada pertempuran fase ketiga ini kaum padri
mulai mendapatkan simpati dari kaum adat. Orang – Orang padri yang mendapatkan
dukungan kaum adat itu bergerak ke pos – pos tentara Belanda, tindakan kaum padri
itu dijadikan Belanda di bawah Gillavry untuk menyerang kota Tua di ampek
angket serta membangun bentang pertahanan dari ampang gandang sampai ke biaro.
Tahun 1831 Gillavary di gantikan oleh Jacob elout. Elout ini telah mendapatkan
pesan dari jawa pada tahun 1832 maka Belanda semakin meningkatkan ofensif
terhadap kekuatan kaum padri di berbagai daerah. Pasukan legium sentot Ali
Basah Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata tahun 1833 kekuatan Belanda
sudah begitu besar dengan menyerang kaum padri, Banuhampu, Tamang, Guguk
Sigandang, Jantung Alam, Sungai Puar, Candung dan beberapa Nagari di Agama. Pada
waktu penyerbuan Kamang, pasukan Belanda dapat mendapatkan perlawanan sengit
bahkan 100 orang pasukan Belanda termasuk Perwira terbunuh urusan Pemerintah
tradisional di Minangkabau. Plakat panjang adalah pernyataan atau janji khidmat
yang isinya tidak aka nada lagi peperangan antara Belanda. Namun dibawah
komando Imam Bonjol mereka terus berjuang untuk mempertahankan setiap jengkal
tanah minang kabau, Oktober 1837 secara ketat Belanda mengepung dan menyerang
benteng bonjol pada tanggal 55 Oktober 1837 tuanku Imam Bonjol di tangkap. Pasukan
yang dapat meloloskan diri dari Belanda melanjutkan perang grilya di hutan
Sumatra Barat, Imam Bonjol kemudian dibuang di Cianjur, dan Meninggal diambon
pada Tanggal 6 November 1864.
No comments:
Post a Comment